Keluarga Anam merupakan satu dari sedikit family golf yang tumbuh dan besar di golf hingga saat ini. Dengan pengalaman dan kemampuannya di golf, Anam berhasil mendidik dan menata 4 putranya sehingga bisa berhasil dan sukses dalam dunia golf dengan tidak mengorbankan faktor pendidikan bagi putra-putranya tersebut.
Saat ini Anda mungkin mengenal sosok Seandy Al Faraby, salah seorang pegolf profesional Indonesia. Generasi sebelum 2010 tentu mengenal kakak beradik, Denis Fella Al Isra dan Fahmi Reza Arafah, yang juga kini menjadi pegolf profesional. Generasi sebelum mereka pasti familiar dengan Alga Topan, pelatih pro yang kini masih malang melintang di timnas golf Indonesia. Keempat bersaudara ini terlahir dari keluarga yang memang membesarkan di golf.
Adalah Haji Anam Koteng, ayah dari Alga, Denis, Fahmi, dan Aby. Pria yang lahir di kawasan Sawangan ini
Memang mengenal golf sejak usia 13. “Umur 13, saya sudah main golf di Sawangan tahun 1970-an. Teman main seangkatan saya, Maan Nasim, pegolf pro legenda Indonesia saat ini, dan Kasiadi, juara Indonesia Open 1989. Maan malah waktu itu belum main golf, saya sudah main duluan. Namun, dia lebih cepat maju golfnya,” kata Anam.
Ketika Maan berkembang menjadi atlet golf yang berbakat, Anam yang meski punya kemampuan bermain golf justru memilih untuk mengembangkan bisnis golf. Ini justru menjadi jalan yang bagus bagi Anam. Ia sukses membuka toko golf dengan nama “Family Golf”, yang kini memiliki 3 gerai. Selain membuka toko golf, Anam pun menekuni dunia fitting golf dan membuat golf mini dan putting green.
“Saya belajar dari teman yang sudah menjalani bisnis tersebut (dunia fitting golf dan membuat golf mini dan putting green),” kata pria yang kini berusia 64 tahun ini.
Tidak berhenti di bisnis golf, Anam pun tetap mengembangkan diri di golf. Ia menjadi pelatih golf di Pondok Cabe, yang murid-muridnya berasal dari perorangan dan komunitas. Kemudian, jangkauan melatihnya meluas hingga ke perusahaan seperti Chevron di Riau.
Anam yang sudah mandarah daging dalam urusan golf kemudiaan mengenalkan kepada putra-putra mereka sejak mereka kecil. Pengenalannya ini bahkan terkesan memaksakan. Anam tidak melihat anak itu suka atau tidak pada golf. Ia berprinsip anaknya mesti tahu golf karena ia yakin bahwa putranya ini bisa hidup dari golf.
“Untuk saya, orang golf dari kampung, yang sudah ngalamin di golf, dengan ngeliat kondisi saat itu, kita bisa hidup kok di golf selama masih punya kemampuan. Kalau enggak jadi atlet (profesional di touring), banyak yang bisa dihasilkan dari golf,” kata Anam.
Alga Topan, yang merupakan anak tertua, mulai mengenal golf di usia 6-7 tahun. Saat itu Alga yang kelahiran 1983 ini mulai belajar swing dengan peralatan golf yang berserakan di rumah. Mengenal golf buat anak di usia itu bagi Alga dirasakan sebagai sebuah keterpaksaan. Namun, ia tetap mengikuti perintah orangtuanya.
“Saya sih waktu itu ngerasa terpaksa. Tapi namanya anak, ya mesti nurut apa kata orangtua. Hati kecil mah pengen berontak, ya kita jalani yang ada,” jelas Alga, yang bersyukur dulu masih mau mendengarkan perintah orangtuanya.
“Saya ngedidik golf memang keras. Tetapi ada dasar mengapa saya ngelakuin itu,” ujar Anam.
Atmosfer golf di saat Alga junior di era 90-an memang cukup bagus. Namun, persaingannya cukup ketat. Alga harus berhadapan dengan senior-seniornya yang bagus-bagus.
“Waktu itu banyak anak kedi yang main. Orangtua angkat kan juga banyak. Misalnya di Pondok Cabe nih, meski ayah pro di situ, saya harus bersaing dengan anak-anak karyawan dan kedi yang dibiayai Pondok Cabe. Mereka militansinya sangat tinggi, yang merasa hidupnya bergantung di sini tidak terpikir hal-hal lain. Kalau saya kan mesti mikir sekolah juga. Tantangannya lebih besar,” jelas Alga, yang menyelesaikan kuliah S-1 di Fakultas Ekonomi jurusan Manajemen Universitas Tarumanagara. “Klub-klub waktu itu pun cukup banyak. Ada Nusamba (Rawamangun), Jagorawi, Pondok Cabe, dan Matoa (yang baru dibuka pada 1995). Ditambah lagi, pemain-pemain dari Pondok Indah yang berasal dari kalangan atas. Jadi, bersaing dengan teman-teman klub, saya juga berhadapan dengan klub-klub di luar.”
Persaingan golf itu harus berakhir ketika krisis moneter 1998. Semua pelatihan golf dan juga bapak angkatnya bubar. Pegolf-pegolf saat itu berupaya untuk tetap hidup. “Mereka ada yang bekerja di lapangan golf. Ada juga yang kerja di tempat-tempat lain, di luar golf. Mereka sulit balik lagi ke golf pasca-krismon itu,” tutur Alga.
Alga masih bertahan di golf karena support keluarga, khususnya sang ayah, sangat kuat. Ia bahkan bisa masuk timnas dari 1998 meski hanya bisa bertahan hingga 2003. Alga tidak bisa meninggalkan pendidikannya di Universitas Tarumanegara.
“Saya enggak bisa bebas, karena enggak dapat dispensasi dari kampus. Jika main di timnas, konsekuensinya saya mesti tinggalin kuliah. Nah itu yang nggak bisa,” jelas Alga, yang telah menyelesaikan studi magister Program Studi Ketahanan Nasional Jurusan Kajian Strategis Intelijen di Universitas Indonesia pada 2013 kemarin.
Pendidikan memang menjadi prioritas nomor satu di mata Anam. Meski yakin anak-anaknya bisa besar dan hidup di golf, ia selalu berprinsip bahwa anak-anaknya tidak boleh meninggalkan bangku kuliah dan mesti menyelesaikan semuanya. Denis yang lahir 1990 berhasil menjadi sarjana di Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen Universitas Trisakti, Fahmi yang lahir 1991 merupakan jebolan Fakultas Ilmu Komunikasi Jurusan Marketing Komunikasi Universitas Bina Nusantara, dan Moch. Seandy Alfaraby kelahiran 1996 adalah lulusan Prodi Geografi MIPA Universitas Indonesia. Si bungsu yang masuk UI melalui jalur dengan Seleksi Nasional Berbasis Prestasi tersebut bahkan menyelesaikan kuliahnya dengan prestasi mengagumkan: cum laude.
“Saya pikir anak-anak ini tidak akan kesulitan di golf ketika berumah tangga. Saya yakin mereka bisa. Tetapi, saya juga paham bahwa golf itu nggak gampang dikuasai. Karena itu, saya perlu bekali dia dengan pendidikan. Mereka harus sarjana. Ada plan A, ada plan b. Jadi kalau dia gagal di golf, masih ada plan B-nya,” kata Anam, yang juga mendapat insight dan dorongan dari sang istri, Hajjah Nurlaela, yang berlatar seorang guru.
“Lulus sarjana itu wajib. Kalau di posisi (kuliah) itu, golfnya harus ngalah,” tambahnya.
Seperti halnya Alga, Fahmi pun menghadapi situasi yang sama ketika harus meninggalkan Ancora Golf Sports, yayasan bentukan Gita Wirjawan yang men-support pegolf-pegolf berbakat Indonesia, karena harus memilih antara golf dan pendidikannya.
Hingga saat ini, Anam dan putra-putranya menjalani rutinitas di golf dengan aktivitas mereka masing-masing dalam dunia tersebut. Anam, yang dibantu Aby dan Alga, menjalankan bisnis toko golf “Golf Family”-nya, sejalan dengan usaha golf fitting yang masih dijalaninya saat ini. Anam, Alga, Denis, Fahmi, dan Aby pun sibuk menjadi teaching pro di beberapa driving range dan lapangan golf di Jakarta. Ketika sirkuit golf profesional bergulir, Denis, Fahmi, dan Aby ikut berpartisipasi. Aby bahkan menjadi salah satu pegolf profesional elite Indonesia di musim lalu. Ia bisa mengukir gelar juara di Rawamangun dan beberapa kali finis Top 10 dalam Indonesia Tourism Golf Pro Series.
Keberhasilan Anam dalam mendidiki putra-putranya tersebut bisa menjadi contoh bahwa golf bisa menjadi jalan sukses dalam kehidupan. Ada banyak jalan yang bisa dikembangkan dalam golf ini. Anam telah mengajarkan bahwa keuletan dan juga naluri untuk survive menjadi kunci suksesnya membangun keluarga golf hingga saat ini. Namun, satu hal yang Anam tidak lupakan adalah memprioritaskan pendidikan tinggi bagi putra-putranya agar menjadi penyeimbang ketika sisi golfnya tersebut sulit berkembang.
Jika melihat keadaan Alga, Denis, Fahmi, dan Aby saat ini, rasanya mereka telah berhasil menggandeng keduanya (golf dan pendidikan) sebagai simbiosis mutualisme. Mereka telah berkeluarga, dan hidup di golf dengan kesibukannnya masing-masing. Tidak ada ingar bingar mengenai kehidupan mereka, tetapi mereka bisa bertahan dan maju hingga saat ini. Satu faktor kunci yang membuat mereka tetap solid adalah family support yang kuat.
Penulis: Yulius Martinus/ OB Golf