Sigi Wimala adalah mantan seorang model yang memulai kariernya di dunia tersebut sejak 1999. Wanita kelahiran 40 tahun lalu ini pun kemudian terjun ke dunia film. Melalui Tentang Dia (2005), ibu dua putri yang memiliki nama lengkap Sigi Wimala Sonyadewi ini meraih penghargaan sebagai Aktris Pendatang Baru Terbaik di ajang Indonesian Movie Awards 2007. Di luar pekerjaannya, Sigi aktif di beberapa aktivitas olahraga. Kini, ia pun menekuni olahraga golf. Apa dan bagaimana pengalaman yang didapat pemeran Astrid dalam film thriller Rumah Dara (2007) dengan hobi barunya ini?
Saat ini, apa saja olahraga yang ditekuni?
Yang di-tekunin sekarang, lari. Dari dulu emang fokusnya di endurance long distance running. Tapi karena belakangan mulai suntuk dan tingkat polusi udara di Jakarta juga sudah buruk, sekarang beralih ke trail run. Jadi medannya, seperti naik gunung. Pokoknya berbeda. Tapi itu juga hanya sesekali karena effort perginya lumayan besar. Trainingnya sih tetap lari. Sepeda masih (dilakuin), tapi banyakan indoor. Balik lagi, karena polusi. Dan golf. I really enjoy golf. Aku masih bela-belain buat (aktivitas) outdoor kalau golf.
Sudah berapa lama main golf?
Baru 2 tahun. Mungkin bisa dibilang sebagai pandemic golfer. Dulu pernah nyoba golf sih. Umur 20-an. Mungkin dari segi mental, dan finansial juga, belum cukup untuk rutin main golf. Waktu itu juga aku berpikir, udah deh. It’s not my thing. Lalu, pandemi kemarin, di-ajakin Luna (Maya) dan Marianne (Rumantir) dari TS Media untuk nyobain golf. Aku juga sempat berpikir, this’s not my kind of sport.
Kenapa sempat terpikir hal seperti itu?
Karena, pertama, it takes patience dan aku nggak punya patience itu. Biasa lari, dan sepeda, it’s about pushing it to the max. Kapasitas kita sebagai—yang—disebut atlet, karena kita semua kalau berolahraga adalah atlet. Berbeda dengan 2 olahraga itu, golf itu mesti rileks. Kalau ngoyo (memaksakan diri), kita malah makin jelek mainnya. Gerakan tubuh kayak swing itu memang belum biasa buat aku. Jadi, ya gerakannya kaku begitu. Ternyata main 18 hole dalam 4-5 jam itu endurance juga.
Endurance juga….
Iya, untuk aku, yang terbiasa lari marathon, main golf selama itu ternyata lebih capek (buat aku). Aneh banget. Kan aku juga (sempat) underestimate, ah olahraganya apa sih. You don’t burn any calories. Cuma mukul-jalan, mukul-jalan. Tapi ternyata tubuh aku yang tidak terbiasa golf cepat banget capek. Hole 15 itu sudah enggak karuan. Lelah mentally and physically. Setiap aku main, baik itu mainnya you can see progress—bisa dibilang sedikit bagus. Kadang-kadang mainnya juga buruk. There’s always reason to play, kapan main berikutnya? Itu aneh banget. Why is this sport so…apa ya…bikin ketagihan. Selalu ada alasan untuk main lagi, walaupun apa yang kita rasakan terakhir main itu buruk atau baik, tetap pengen main.
Jadi, golf ini ada prospek dong buat ke depannya?
Untuk ke depannya, aku ngerasa this is a good sport untuk di-tekunin sampai pensiun. Kalau lari kan, selalu ada knee problem. Kalau sepeda juga, respons tubuh tidak sesigap lagi seperti waktu muda. Jadi, ada kondisi-kondisi yang tidak memungkinkan untuk aku lanjut main long distance. Mungkin masih bisa (main), cuma performance wise nggak maksimal. Aku melihat di lapangan banyak pegolf yang sudah pensiun menikmati olahraga ini, atau bermain golf dengan pasangannya. Apalagi, golf ini bisa di-combine dengan travelling, it’s very ideal sport untuk jangka panjang.
Ketika main golf, apa yang dirasakan secara mental?
Mentally, paling menguras untuk olahraga ya golf. Kalau kita lagi bad mood, mainnya pasti berantakan. Tapi, golf bisa ngebangun karakter yang lebih kuat. Personally yang aku rasain ya. Aku tuh orangnya ngoyo banget, kompetitif. Walaupun aku nyoba nggak nunjukkin, sisi kompetitifnya itu diterjemahkan dalam (gerak) tubuh aku. Kalau ngoyo itu kan pasti tegang ya, kita nggak rileks sama sekali tubuh kita. Nah, waktu masuk ke golf, itu yang menjadi challenge utama aku. Pelan-pelan aku berlatih dengan beberapa pegolf sebagai coach. Yang mereka bangun pada diri aku adalah rileks. ‘Ini bukan kamu yang lagi sepedaan atau lari, this totally different sport’. Itu yang diprogram di kepalaku saat latihan golf. Kayaknya kedengaran simpel, tapi susah banget. Beberapa kali ingin give up. Tapi semakin aku jalani, semakin aku ngerasa banyak benefitnya ya.
Apa benefit yang didapat?
Nggak cuma fisik, tapi juga mentally. Mentally, aku gampang untuk move on. Kalau hal-hal yang nggak signifikan, sudahlah. Just forget. Move on. Dengan sendirinya, kita dilatih untuk mem-filter negative thought. Karena kalau di lapangan golf, it’s all about negative thought. Kita mukul, pukulannya jelek. Bolanya nggak ke mana-mana. That’s a lot of negative thought saat kita di lapangan golf. Itu yang harus kita singkirkan kan. Dengan bermain 18 hole, kita dikasih 18 kesempatan. Jadi, selalu ada kesempatan di hole-hole berikutnya. Itu jika dimasukkan dalam kehidupan nyata, sehari-hari, selalu ada kesempatan lain. Lupain yang kemarin, yuk kita maju lagi. Jalanin yang ini. Project berikutnya mungkin bakal lebih baik. Itu bagusnya kalau olahraga. Kalau lari (endurance), kita fokus sama finis. Jangan give up, kita harus ngatur pace kita. Yang penting kita finis. Jadi olahraga itu ngebangun karakter kita dalam keseharian. I try to embrace that, even though golf drives me nut, tapi setidaknya ada benefit aku di kehidupan sehari-hari.
Apa yang Anda lihat pada diri Anda sebagai pegolf?
Saat ini, yes I’m a golfer. Tapi sucky golfer, ha…ha.. Jadi, kayak kita bikin check list. Sekarang, fokusnya, saya pertama ingin enjoy dulu. Aku bukan di level yang bisa kompetitif. Siapa saya yang bisa kompetitif di sport yang sebenarnya aku nggak jago banget. Jadi, fokusnya ya enjoy aja. Bagaimana bisa manage emosi di lapangan golf selama 18 hole itu. Itu saja sih. Dengan memfokuskan my enjoyment in the game, dengan sendirinya ada progress yang terlihat. Kayaknya ke depannya juga pastinya aku cuma untuk quality time bersama teman, keluarga, dan yang tercinta.
Baru 2 tahunan main golf, tapi sudah bisa visit St. Andrew Old Course. Bagaimana ceritanya?
Ceritanya, I turn 40. Aku bingung mau ngapain ya. Aku nggak suka party-party, travelling juga biasanya solo atau small group atau dengan keluarga. Aku mikir ingin sesuatu yang berbeda, sesuatu yang bisa menginspirasi. Oh ke Skotlandia aja. Tadinya cuma mau whisky tour. Aku ingin belajar behind the making whisky process. Lalu, kepikir di Skotlandia kan pusatnya golf (dunia). Aku ngerasa mengapa nggak mampir aja. Pakai mobil, bawa sendiri. Mampir ke Gleneagles Kings dan Aberdeen. Lalu, ke St. Andrews Old Course, ngeliat-nya aneh banget. Satu kota, semua pegolf. Nggak tahu kenapa, mereka semua berpakaian seperti pegolf, walaupun mereka juga mungkin belum tentu main. Mereka ke situ mungkin sama kayak aku cari inspirasi. Di Old Course itu ada banyak kayak glove, putter sleeve, dan barang-barang golf lainnya yang ditinggal begitu aja. Lalu, aku dengar orang bilang, “Let’s leave something as an offering to golf god.” Maksudnya, kita ninggalin sesuatu sebagai persembahan, siapa tahu pas balik golf kita makin bagus, ha…ha…ha. Apa aku mesti ninggalin sesuatu juga, supaya kali aja mainnya jadi lebih bagus.
Jadi, ada yang ditinggalin?
Ada, marker. Sayang kalau yang lain, ha…ha. Lagi pula, nggak bawa apa-apa.
Di Old Course, dapat kesempatan melintas Swilcan Bridge.
Waktu itu, aku takut kan, karena nggak tahu peraturan di Old Course. Dibilangnya kan public course, jadi siapa pun bisa masuk. Cuma kan etikanya, kalau ada yang main, kita enggak boleh masuk ke green. Aku sebagai orang Asia takut dimarahi. Aku bangun jam 6 pagi. Mereka tee off pertama kalau tidak salah 6.45. Jadi jam 6 sudah stand by, nunggu di situ. Belum ada siapa-siapa. Setidaknya, aku tenang ketika nyebrang di Bridge itu. Bisa bikin konten. Soalnya pas siangan, sudah ramai. Sudah ada yang main. Tetap saja turis-turis itu naik ke jembatan itu, walaupun ada yang teriakin karena bahaya kan.
Bagaimana rasanya?
It’s a bridge. Cuma jembatan kecil (yang menghubungkan fairway hole 1 dan 18). Tapi, karena history-nya. Aku sih nggak terlalu serius dengan hal itu, karena baru di dunia golf ini. Hanya beruntung saja bisa berada di Bridge itu. Tetapi, saya respect dengan olahraga ini, mengikuti (aktivitas)-nya dan sejarahnya. Hingga sekarang pun, permainannya berubah—dari segi branding dan audience-nya. Lebih accesible, karena dulu itu kan image-nya hanya certain class, certain age category yang bisa main golf.
Terbiasa lihat lapangan-lapangan di Indonesia, lalu ketemu yang di Skotlandia. Apa yang terpikir saat itu?
Kebanyakan yang aku kunjungi itu kan links kecuali Gleneagles Kings. Ya, Tuhan kalau aku main di situ anginnya kencang banget. Links kan cuma semak-semak, enggak ada pohon. Dibilang cantik karena alamnya. Tapi, Indonesia punya lapangan yang bagus-bagus banget. Pelayanannya juga kan kalau di Asia. Anda mendapatkan banyak pertolongan. Kalau di sana kan, apa-apa sendiri. Aneh aja environment-nya. Beda banget, di sana dengan di sini. Saya beruntung banget, newbie di Indonesia. Lebih enak memulainya di lapangan golf di Asia. Lebih friendly.
Sempat main juga di sana?
Nggak. Aku nggak prepare untuk main. Jika main pun di Old Course, aku harus dalam kondisi ready. Kalau aku paksain main sekarang, sayang saja membuang pengalaman main di situ. Jadi, saya bikin janji, golfnya lebih bagus sehingga bisa main di sana. Nggak malu-maluin. Soalnya di sana kan kerjaannya cuma duduk di samping hole 1 dan 18, nontonin orang main. Random banget. Aku ngebayangin kalau aku main, terus dilihatin turis-turis, itu rasanya gimana gitu. Jadi, ke St. Andrew, tidak ada yang dilakuin. Ngunjungin museum golf, itu yang saya lakukan, dan nontonin orang main golf. Bukan turnamen atau apa. Ini random people yang nonton orang main.
Punya hobi main golf, berarti nggak takut kena sinar matahari dong.
Nggak sih. Udah biasa di bawah sinar matahari. Cuma lebih banyak sun block saja. Beda dengan olahraga lain, yang 1-2 jam sudah selesai, kalau ini kan bisa 4-5 jam di bawah terik matahari. Aku pun bukan tipe-tipe pemain yang suka pakai sleeve, topi gede, atau pelindung muka. Ribet banget jadinya. Main golf saja sudah ribet, lalu diribetin sama matahari. Ya sudah, bodoh amat.
Dengan hobi baru ini, Anda juga mulai coba-coba jadi travelling golfer?
Aku pernah bawa sepeda dan golf bag. Niat banget sih. 4 hari, pagi sepeda dan siang golf. Empat hari berturut-turut. Gila, capek banget. Ambisius. Itu awal-awal mulai turun lapangan. Masih menggebu-gebu. Itu bad strategy sih. Kalau mau golf, nggak boleh capek. Meski kelihatannya gampang, jalan, duduk di cart, terus mukul, capek banget secara mental dan fisik. Kalau di-combine dengan olahraga hardcore, habis badannya.
Saat ini apa kesibukan Anda?
Aku nulis dan mau launching buku anak-anak. Aku lagi nulis buku novel pertama. Create juga serial yang tahun ini masuk produksi. Pokoknya, yang bisa aku kerjain, aku kerjain. Ini untuk support olahraga golfnya, ha…ha….
Di Jakarta, mana lapangan favorit Anda?
Aku suka Riverside (Golf Club) dan Gunung Geulis (Country Club). Suka dengan pemandangan sekitarnya.