Empat Lapangan Golf Tua di Indonesia

Indonesia memiliki lebih dari 150 lapangan golf. Beberapa lapangan telah berusia lebih dari 100 tahun, karena didirikan di masa penjajahan kolonial Belanda. Tercatat, ada empat lapangan golf yang berdiri sebelum 1918. Kecuali Semarang Golf Club, tiga lapangan golf lainnya masih tetap beroperasi hingga saat ini dengan segala keunikan, tantangan, dan keunggulan masing-masing. Dengan usia satu abad, lapangan-lapangan ini sangat pantas dijadikan sebagai cagar budaya karena memiliki nilai historis sebagai salah satu bukti perkembangan golf di Indonesia.

Jakarta Golf Club

Jakarta Golf Club (JGC) yang kita kenal saat ini merupakan lapangan golf tertua di Indonesia. JGC berdiri pada 1872 dengan nama Batavia Golf Club (BGC). Eksistensi BGC tercatat dalam the Golfing Annual, buku yang mengulas perkembangan golf berdasarkan terbentuknya lapangan-lapangan golf, bersama Bon Accord Golf Club dan Wimbledon Ladies’ Golf, yang berdiri pada tahun yang sama pula. Namun, nama Batavia Golf Club diketahui melalui keputusan Gubernur Hindia Belanda di Buitenzorg pada 16 September 1932 yang mengesahkan nama klub tersebut pada 28 Agustus 1932.

Sebelum tahun itu (1932), tidak ada identitas resmi dari Batavia Golf Club. Beberapa sumber menyebutkan bahwa ada lapangan golf pertama di Indonesia (waktu dikenal dengan nama Dutch East Indies karena berada di bawah Kerajaan Belanda) yang didirikan pada 1872 atas inisiatif para ekspat Inggris yang tinggal di Batavia.

Situs JGC menyebutkan bahwa lokasi Batavia Golf Club awalnya berada di sekitar Monumen Nasional yang menghadap gedung Mahkamah Agung saat ini. Lapangan tersebut memiliki sembilan hole, tetapi kemudian dipindahkan ke Rawamangun, dibangun hingga 18 hole seperti sekarang ini.

Pada 1950, saat penyerahan kedaulatan kepada pemerintah Indonesia, Batavia Golf Club resmi berubah menjadi Djakarta Golf Club Indonesia. Lalu, pada 13 Desember 1970, Djakarta Golf Club Indonesia berubah lagi menjadi Jakarta Golf Club yang kini dikenal hingga saat ini.

 

Semarang Golf Club

Semarang pun pernah memiliki lapangan golf tua. Waktu namanya Tjandi Sports Club yang dibangun pada 1895. Lapangan golf sembilan hole ini berlokasi di Kanarielaan (sekarang Jalan Sisingamangaraja). Tidak hanya menjadi tempat bermain golf, Tjandi Sports Club pun menyediakan sarana olahraga tenis dan kriket. Sebuah sumber tertulis bahkan menyebutkan bahwa Tjandi Sports Club menjadi tempat penyelenggaraan golf club championship se-Hindia Belanda untuk pertama kalinya pada 1901, dan kemudian menjadi turnamen tahunan di tempat tersebut.

Setelah proklamasi kemerdekaan RI pada 1945, Tjandi Golf Club berubah nama menjadi Semarang Golf Club (SGC). Pada 2006, SGC ditutup. Seluruh aktivitas golf pun dipindahkan ke Gombel Golf Semarang.

Yani Golf Club

Berada di sebuah daerah pegunungan yang dijadikan perkebunan teh atau kopi di kawasan Gunungsari, sebuah lapangan golf berdiri dengan luas sekitar 60 ha pada 1898. Satu-satunya lapangan 18 hole ini dibangun oleh sekumpulan orang Belanda yang bekerja di PT Shell, sebuah perusahaan minyak luar negeri.

Setelah 16 tahun dikelola perusahaan swasta, pengelolaan kemudian dipindahkan ke perkumpulan golf berbendera “Surabaya Golf Club” yang masih dihuni kalangan pegolf dari Shell pada 2 Februari 1914. Surabaya Golf Club memiliki kewenangan mengelola lapangan golf hingga 26 tahun, dan diperpanjang sampai 1943.

Ketika nasionalisasi terjadi setelah penyerahan kedaulatan RI, kepengurusan Surabaya Golf perlahan-lahan diisi beberapa kalangan pribumi pada 1961. Dua tahun kemudian, sebagian besar pribumi memegang kepengurusan. Namun, di akhir 1963, lapangan golf terbengkalai karena diambil alih PKI yang menggunakannya untuk kepentingan yang bersifat politik.

Pada 1965, hak pakai sepenuhnya dipegang oleh Yayasan Olah Raga Golf Surabaya. Usai peristiwa G-30-S PKI, nama Surabaya Golf Club diubah menjadi Yani Golf Club, sebagai bentuk penghormatan terhadap Jenderal Achmad Yani (yang menjadi korban dalam G-30-S). Yani merupakan pegolf yang rajin bermain di sana.

 

Dago Heritage 1917

Sebuah lapangan golf berdiri di kawasan Dago Atas pada 1917. Dikelola oleh Bandoengsche Golf Club, komunitas pegolf yang terdiri atas orang-orang pemerintahan Belanda serta orang-orang Eropa lainnya, nama lapangan sembilan hole tersebut pun dikenal sesuai dengan nama pengelolanya. Pasca-kemerdekaan RI, nama Bandoengsche Golf Club berubah menjadi Bandoeng Golf Club, yang kemudian berganti menjadi Persatuan Golf Bandung pada 1967.

Pada 1994, lapangan golf Dago menjadi 18 hole. Lalu, 21 Januari 2016, Dago Heritage 1917 diperkenalkan sebagai identitas baru dari lapangan golf tua di Bandung ini. Peluncuran nama baru ini sekaligus menegaskan keberadaan lapangan golf Dago sebagai cagar budaya yang perlu dipertahankan dan dilestarikan. Meski merupakan warisan pemerintahan Kolonial Belanda, Dago Heritage 1917 masih eksis hingga saat ini dan siap untuk berkompetisi di masa depan.

 

Share with

More News

Juarai BNI Indonesian Masters, Lee Raih Gelar International Series Pertama

Cetak Hole in One, Watson Jaga Peluang untuk Menyalip Lee di BNI Indonesian Masters 2024

Pasca-Putaran Kedua BNI Indonesian Masters 2024, Pegolf Kanada Makin Kukuh di Puncak Klasemen

Cetak -10, Pegolf Kanada Pimpin Putaran Pertama BNI Indonesian Masters 2024

Digital Edition

COVER OKT NOV
Oktober - November 2024

Menantikan Pemenang Turnamen Termahal di Indonesia

Ags - Sep 2024
August - September 2024

Bersiap Untuk Kompetisi Terbesar-Pertama Se-Indonesia

COVER JUN JUL 2024
June - July 2024

Berburu Emas di Padang Le Golf National

Screenshot 2024-04-05 131223
April - May 2024

Kunjungan Ke Dua Destinasi Major