Juriah merupakan salah satu bagian sejarah golf nasional. Kiprahnya di timnas sejak 2005 hingga 2011 telah menghasilkan beberapa medali bagi Indonesia dalam ajang SEA Games, termasuk keberhasilan timnas meraih dua medali emas (individu dan beregu putri) pada SEA Games 2011 Jakarta-Palembang. Perjalanan Juriah hingga ke panggung nasional ini berawal dari Matoa Nasional Golf Course. Bergabung dalam pembinaan junior di lapangan milik alm. Bob Hasan ini pada 27 tahun lalu, Juriah memulai babak baru dalam karier golf amatirnya. “Passion Pak Bob terhadap pembinaan junior ternyata membentuk karier saya hingga menjadi seperti sekarang ini,” kata Juriah, satu dari beberapa binaan Matoa yang masih eksis hingga saat ini.
Bagaimana awal bermain golf?
Pertama kali saya main golf itu tahun 1995, SMP kelas 1. Di Matoa (Golf Nasional). Waktu itu sekolah saya, SMP 253, lokasinya dekat dengan Matoa. Saat itu Matoa sedang mencari bibit-bibit golf yang berasal dari sekolah-sekolah di sekitar Matoa. Angkatan saya itu ada 35 orang. Di atas saya, ada 35 orang juga. Kita benar-benar dari nol. Diajarkan dasar-dasar pegang grip. Tekniknya gimana. Semuanya itu diajarkan pihak matoa. Setelah kita latihan memukul, kita ambil lagi bolanya. Pukul lagi, ambil lagi. Seterusnya.
Jadwal berlatihnya seperti apa?
Waktu kelas 1 kan saya masuk pagi. Jadi latihannya siang, dari Selasa hingga Jumat. Sabtu-Minggu nggak ada latihan. Latihannya disesuaikan dengan jadwal sekolah. Tidak mengganggu kegiatan sekolah.
Bagaimana pihak Matoa membina para junior ini?
Semua difasilitasi Matoa, dari glove, stik golf, dan bola. Semua free. Ya, kita hanya datang dan berlatih mukul. Setiap hari seperti itu. Ditekuni saja.
Siapa pelatih-pelatih yang membentuk Anda bisa seperti sekarang ini?
Pak Jayadi, Pak Sanusi, dan juga Pak Sofyan Idup. Itu guru-guru saya yang mengajarkan golf dari nol sampai bisa. Juara, hingga sekarang.
Hal apa yang mereka ajarkan hingga masih diingat sampai sekarang?
Hal yang masih saya ingat sampai sekarang adalah bagaimana menyikapi atau menyelesaikan satu masalah di lapangan. Main golf itu pasti ada salahnya, jadi nggak ada yang sempurna. Tapi, bagaimana kita menyelesaikan agar bola bisa on the green di situasi yang susah atau bola di dalam posisi yang tidak mengenakkan. Kita mesti berpikir, nih bola mesti di-apain supaya bisa ke sana, tekniknya seperti apa supaya bolanya bisa ke green. Step by step saja. Tidak usah terlalu berpikir ke depan, tidak usah juga berpikir terlalu ke belakang. Jalani (berpikir) cukup pada saat itu saja.
Apa yang Anda ingat ketika turun pertama kali di turnamen kompetitif?
Waktu pertama kali turun sebagai junior di Jababeka. Mainnya siang. Skor 120-an.
Bagaimana rasanya buat skor sebesar itu?
Ya sudah, buat pengalaman saja. Intinya, jangan patah semangat. Lihat apa yang kurang. Harus berlatih lagi. Jujur saja, pengalaman dari junior sampai sekarang nggak mulus juga. Beberapa kali ada keraguan: lanjut atau tidak. Namun, ada yang bilang, elo tuh dah kecebur, ya sudah terus lanjutin. Mau berhenti, ya elo dah mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran. Jalani saja.
Berapa lama Anda bisa main golf stabil dari mulai kenal golf?
Dari pertama kali main sampai bisa dapat trofi, saya perlu satu tahun. Nggak langsung juara, tapi memang butuh waktu untuk (mencapai) itu. Setelah menjadi juara, itu pun best net, berdasarkan handicap bukan gross, cukup membuat saya tambah semangat untuk berlatih. Saya banyak mengikuti turnamen junior. Itu yang membuat mental juara saya makin bertambah.
Anda tampil mengejutkan di Kosaido Ladies Asia Golf Circuit 2003, menduduki posisi ketiga. Apa sebenarnya target saat main di turnamen profesional internasional itu?
Nggak ada target. Senang saja bisa main di tingkat internasional. Ketemu pegolf-pegolf beda negara. Apalagi bisa menang (juara ketiga), itu bonus buat saya. Ya main, main saja.
Berapa hari main di Kosaido?
Waktu Kosaido Ladies Asia Golf Circuit, mainnya tiga hari. Skornya saya lupa. Soalnya sudah lama banget. Mengapa saya bisa lolos cut? Mungkin karena pengalaman-pengalaman saya di junior. Saya kan selalu dapat piala di junior. Itu suatu prestasi yang membanggakan.
Dari Kosaido, lalu main di PON 2004. Bagaimana ceritanya?
Setelah Kosaido, saya mengikuti beberapa turnamen lain. Nah, 2004 ada Pekan Olahraga Nasional. Saya dipercaya untuk mewakili DKI dengan mengikuti kualifikasi PON di Kedaton. Alhamdulillah, saya bisa lolos seleksi, bersama Retno Mustari.
Apa hasil di PON 2004?
Saat PON 2004 Palembang, saya mendapatkan 1 emas (foursome) dan dua perak (individual dan tim beregu putri).
Timnas?
Usai PON, saya dipanggil ke timnas untuk SEA Games 2005 di Filipina. Saya satu tim bersama alm. Lidya Ivana jaya dan Risti Yuanda. Kita mendapatkan perunggu untuk nomor beregu.
Begitu banyak pengalaman bermain. Mana momen yang berkesan?
Saya sudah mengikuti ajang SEA Games 4 kali, 2005 dengan perunggu untuk beregu putri, 2007 perunggu juga untuk beregu, 2009 nggak dapat apa-apa, dan 2011 Jakarta SEA Games terakhir saya. Kita dapat dua emas, individu dan beregu putri. Itu untuk pertama kalinya Indonesia meraih dua emas di golf SEA Games. 2012, saya ikut PON Riau. Kita (DKI Jakarta) menyapu bersih emas di semua nomor. Itu momen-momen berkesan bagi saya dalam menggeluti golf selama ini.
Sebelum terpilih tiga orang untuk tim inti SEA Games 2011, bagaimana pelatihannya selama pelatnas?
Sebelum SEA Games 2011 di Jagorawi, kita dikumpulkan. 30 orang. Dipusatkan latihannya di Jagorawi. Kita ada latihan fisik, teknik, dan latihan kompetisi. Waktu itu, selama 2 minggu, kita berlatih di Batujajar, program KONI Pusat. Melatih kedisiplinan segala hal. Ke-30 orang itu ada program masing-masing di Jagorawi Golf. Latihan fisik jam 6 pagi, keliling lapangan. Lalu, berlatih ke driving range. Latihan memukul sambil berkompetisi. Tidak sembarangan pukul. Ada target memukul. Begitu pula chipping, pitching, dan putting. Ada data yang terkumpul. Ini agar kita terbiasa. Tidak canggung karena biasa kompetisi. Itu setiap hari dilakukan. Semuanya diatur, termasuk makan. Ke mana-mana harus selalu bersama. Kebersamaannya terjaga. Seperti itu sih polanya.
Jika dihitung dari mulai main pada 1995, berarti sudah 27 tahun. Bagaimana agar golfnya tidak jenuh?
Saya terjun golf 27 tahun. Untuk me-maintain, saya salurkan ke olahraga lain. Sepeda atau ke gym. Tapi, masing-masing orang kan beda-beda. Kalau saya cenderung ke olahraga.
Apa yang bisa Anda bagi kepada para junior?
27 tahun main golf, pasti ada up and down. Itu sudah hal yang biasa. Nggak melulu bagus-bagus. Pasti ada jeleknya. Kita mesti bisa menerima kalau kita main jelek. Dengan kita bisa menerima itu, kita bisa berdamai dengan diri sendiri. Melanjutkan lagi apa yang harus dilatih lagi, apa yang harus pertajam lagi. Terus berlatih, jangan pernah putus asa. Usaha itu tidak akan berbohong. Tetap semangat dan berpikir positif. Jangan lupa proses kalian masih panjang. Nikmati saja prosesnya. Jangan pernah berhenti.
Apa kesibukan Anda saat ini?
Saat ini saya kuliah di Universitas Indonusa Esa Unggul, jurusan Fisioterapi. Saya sedang menyelesaikan sidang skripsi dan menunggu jadwal wisuda.
Apakah ada kaitannya golf dengan fisioterapi yang sedang ditekuni?
Jurusan yang saya ambil ada hubungannya dengan golf. Mengapa saya mau kuliah di umur yang sudah tidak muda lagi karena ada ceritanya. Sebelum PON 2016, saya mengalami cedera di siku. Di situ saya merasakan, sebagai atlet yang sedang cedera, kayaknya prestasinya sudah sampai di situ saja. Frustrasi. Bertanya-tanya, bisa lanjut lagi nggak ya golfnya. Di situ saya merasakan betul, bagaimana perasaan seorang atlet yang sedang cedera. Dari situ saya mengenal fisioterapi. Mulai berpikir, kenapa saya nggak belajar fisioterapi saja. Bisa menolong teman-teman cedera. Jadi motivasi saya ambil fisioterapi karena pengalaman pribadi saya juga.