Pelaksanaan PPKM yang digelar untuk menekan penyebaran Covid-19 mengharuskan para pelaku industri sektor non-esensial menutup sementara usaha mereka. Salah satunya adalah lapangan golf. Bagaimana dampak yang dirasakan para pelaku usaha golf?
Pertengahan Agustus lalu, pemerintah mulai melonggarkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dengan memberikan lampu hijau kepada para pelaku industri sektor non-esensial untuk melakukan kegiatan sesuai aturan yang digariskan pemerintah terkait PPKM tersebut. Pemberlakukan PPKM ini sendiri dimulai sejak 3 Juli untuk menekan laju penyebaran Covid-19.
Para pelaku usaha golf, dalam hal ini lapangan golf, mulai berbenah dengan pelonggaran kebijakan tersebut. Namun, banyak yang tidak tahu bahwa membuka operasional lapangan golf ini sebenarnya tidak semudah yang dibayangkan karena menyangkut berbagai hal, khususnya mengenai lapangan golf itu sendiri. Lapangan golf yang merupakan sajian utama pelaku usaha golf membutuhkan waktu untuk kembali ke kondisi yang diharapkan para pelaku usaha, dan juga para pegolf yang merupakan klien utama.
“Perawatan lapangan. (Meski) tutup, lapangan kan tetap mesti dirawat. Misalnya, lapangan golf tutup dua minggu, mengembalikan kondisi lapangan seperti semula perlu dua minggu juga? Belum tentu. Ini bisa berbulan-bulan. Kita bicara course maintenance. Lapangan golf itu bukan benda mati. Untuk mengembalikan ke kondisi semula, perlu waktu lama. Jadi semakin lama ditutup, semakin lama perawatannya. Ini yang dikhawatirkan teman-teman,” kata Feliks Hariyanto, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pemilik Lapangan Golf Indonesia (APLGI).
Jadi, bisa dibayangkan betapa terpukulnya lapangan-lapangan golf ketika PPKM mulai diberlakukan. Kebijakan pembatasan ini sebenarnya merupakan yang kedua kalinya. Tahun lalu, pemerintah pun pernah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), yang juga mendorong para pelaku usaha non-esensial menutup kegiatan untuk sementara waktu.
“Ketika pemerintah mengambil kebijakan (PSBB dan PPKM) tersebut demi kebaikan kita bersama untuk jangka panjang, ya mesti disupport dong. Yang terkena dampak kan nggak kita sendiri. Itu yang harus kita pegang. Bukan hanya industri golf, seluruh industri maupun semua orang di negeri ini. Saya pikir prinsip utamanya itu dulu,” ujar Feliks.
Meski demikian, kebijakan ini pastinya memberikan dampak yang tidak kecil. Para pelaku usaha golf memang harus menghadapi biaya-biaya rutin yang mesti dikeluarkan setiap bulannya, seperti perawatan lapangan, gaji karyawan, dan sebagainya, sedangkan pemasukan yang biasanya menutupi biaya-biaya tersebut tidak ada. Seperti diketahui, lapangan golf menyerap tenaga kerja yang sangat besar. Jumlah pekerja yang terlibat di lapangan golf bisa mencapai lebih dari 500 orang.
“Dengan penutupan lapangan golf, otomatis pendapatan baik rutin maupun non-rutin terhenti, sedangkan beban biaya tidak bisa dihindarkan, seperti PBB, payroll karyawan, listrik dan perawatan lapangan. Hal ini belum termasuk apabila member/anggota sebuah lapangan golf meminta kebijakan dari manajemen berupa penghapusan/keringanan iuran anggota,” jelas Anthony Chandra, Ketua Golf Club Managers Association of Indonesia (GCMAI).
Dari biaya-biaya rutin, pengeluaran terbesar adalah untuk payroll dan perawatan lapangan beserta fasilitasnya. Perawatan lapangan itu menyangkut pupuk, obat, dan mesin-mesin yang merupakan barang-barang impor sehingga mengikuti kurs dolar.
“Untuk lapangan golf yang luasnya standar, biaya perawatan lapangan itu minimal 3,5-4 miliar per bulan,” kata Feliks.
Besarnya biaya-biaya inilah yang membuat biaya main golf terkesan menjadi mahal. Padahal, biaya main golf itu sendiri menutupi cost operasional setiap bulannya. Jadi, bisa dibayangkan ketika lapangan golf harus tutup dan mereka harus menutupi biaya-biaya rutin itu tanpa ada pemasukan. Untuk itu, lapangan-lapangan golf pun melakukan berbagai cara untuk menekan biaya-biaya ini.
“Sebagian besar lapangan sebisa mungkin menghindari PHK. Beberapa upaya (dilakukan) untuk menekan beban payroll. Pembatasan penggunaan listrik, air dan program perawatan juga dilakukan dalam upaya menekan biaya,” jelas Anthony, yang juga General Manager Gading Raya Golf. “Selain itu (kami juga mengajukan) upaya mengajukan insentif kepada pemerintah daerah atau instansi pemerintah seperti insentif PBB, insentif tarif listrik, dan lain-lain.”
Kesulitan-kesulitan ini pun sangat disadari APLGI dan GCMAI. Jika APLGI berupaya menjembatani komunikasi dengan pihak pemerintah, GCMAI menampung berbagai kesulitan yang dihadapi para anggotanya dan bertukar pikiran untuk mencari pemecahan dalam menyelesaikan ataupun mengurangi beban kesulitan tersebut.
“APLGI selama PPKM menjembatani antara kementerian dan lapangan. Komunikasi dan kolaborasi antara kementerian dan kami. Kami menjembatani, bukan pengambil kebijakan. Setiap kementerian mau mengambil kebijakan, aturan ini, SOP ini, (kami mengakomodasi) supaya teman-teman lapangan golf bisa buka dan sebagainya. Apa sih yang kementerian butuhkan jika lapangan golf mau buka, nah kami berupaya mengomunikasikan semua itu,” kata Feliks.
“Untuk GCMAI sendiri, kami sebagai pengelola sebisa mungkin tetap menjalin komunikasi antar-anggota baik untuk berdiskusi maupun sekedar saling bertukar pikiran dan juga memberikan dorongan semangat mengingat hal ini terjadi pada hampir seluruh usaha lapangan golf di Indonesia,” tutur Anthony.
Meski berusaha bertahan di tengah pandemi yang belum juga usai, para pelaku usaha golf tetap berharap pemerintah bisa memberikan solusi yang terbaik dalam meringankan kesulitan mereka selama PPKM. “Kami selaku pengelola berharap agar aturan-aturan PPKM semakin diberi pelonggaran tanpa mengabaikan penerapan prokes ketat, sehingga operasional perlahan-lahan pulih. Selain itu, kami berharap pemerintah baik pusat dan daerah memberikan insentif-insentif bagi perusahaan, mengingat usaha lapangan golf cukup banyak menyerap tenaga kerja dari berbagai lapisan masyarakat dan selama PPKM ini berlangsung sebisa mungkin untuk tidak melakukan PHK massal,” kata Anthony.